KEKUATAN OTAK, KEKUATAN JIWA
Jiwa adalah sumber
kekuatan seseorang. Orang yang Jiwanya lemah, akan tampil sebagai sosok
yang lemah. Sedangkan orang yang berjiwa kuat akan tampil sebagai sosok
yang ‘kuat’ pula. Tentu saja, bukan sekadar dalam arti fisik. Melainkan
‘kekuatan’ pribadinya dalam menghadapi gelombang kehidupan.
Orang yang memiliki
Jiwa kuat, bukan hanya berpengaruh pada keteguhan pribadinya, melainkan
bisa digunakan untuk mempengaruhi orang lain, bahkan benda-benda di
sekitarnya. Anda melihat betapa besarnya kekuatan yang ditebarkan oleh
Bung Karno sebagai ahli pidato. Ia bisa mempengaruhi ribuan orang hanya
dengan kata-katanya. Ribuan orang terpesona dan rela berpanas-panas,
berdesak-desakan, atau berjuang dan berkorban, mengikuti apa yang dia
pidatokan.
Anda juga bisa
merasakan, betapa hebatnya kekuatan yang digetarkan oleh Mozart dan
Beethoven lewat karya-karya musiknya. Berpuluh tahun karya mereka
dimainkan dan mempesona banyak musikus atau penikmat musik di seluruh
dunia.
Atau, lebih dahsyat
lagi, adalah kekuatan yang terpancar dari Jiwa para nabi. Keteladanan
dan risalah yang beliau bawa telah mampu menggetarkan satu setengah
miliar umat di seluruh penjuru planet bumi ini untuk mengikutinya.
Bahkan terus berkembang, selama hampir 1500 tahun terakhir.
Bagaimana semua itu
bisa terjadi? Dan darimana serta dengan cara apa kekuatan yang demikian
dahsyat itu terpancar? Semua itu ada kaitannya dengan kekuatan Jiwa yang
terpancar dari seseorang. Dengan mekanisme otak sebagai pintu keluar
masuknya.
Mempelajari aktivitas
otak, berarti juga mempelajari aktivitas Jiwa. Kenapa demikian? Karena
seperti telah kita bahas di depan, Jiwa adalah program-program istimewa
yang dimasukkan ke dalam sel-sel otak. Dan program-program itu lantas
berkolaborasi membentuk suatu sistem di dalam organ otak. Karena itu,
setiap apa yang dihasilkan otak adalah pancaran dari aktivitas Jiwa
kita.
Bagaimana memahaminya?
Banyak cara. Di antaranya dengan memahami produk-produk otak sebagai
organ pemikir. Kalau kita membaca karya seseorang, baik berupa karya
tulis, musik, pidato, atau karya-karya seni dan ilmu pengetahuan
lainnya, kita sedang memahami pancaran jiwa seseorang.
Di dalam karya itu
terkandung energi, yang tersimpan di dalam maknanya. Untuk bisa
merasakan energi tersebut tentu kita harus menggunakan Jiwa untuk
memahaminya. Jika kita sekadar menggunakan panca indera terhadap suatu
karya, tapi hati atau Jiwa kita tidak ikut dalam proses pemahaman itu,
tentu kita tidak bisa merasakan besarnya energi yang terpancar. Karya
itu tidak lebih hanya sebagai seonggok benda mati. Tapi, begitu kita
melibatkan hati dan Jiwa, tiba-tiba karya itu menjadi hidup dan
bermakna.
Yang demikian itu bisa
terjadi pada pemahaman apa saja. Setiap kali kita ingin menangkap makna,
maka kita harus melibatkan hati dan Jiwa. Hati adalah sensor penerima
getaran universal di dalam diri seseorang. Ada yang menyebutnya sebagai
indera ke enam.
Kombinasi antara panca
indera dan hati akan menyebabkan kita bisa melakukan pemahaman. Tapi
semua sinyalnya tetap dikirim ke otak sebagai pusat pemahaman atas
informasi panca indera dan hati tersebut. Di situlah Jiwa bekerja
sebagai mekanisme kompleks dari seluruh rangkaian software yang ada di
sel-sel otak.
Jadi, otak memancarkan
gelombang energi yang tersimpan di dalam maknanya. Makna itu sendiri
sebenarnya bukanlah energi, meskipun ia mengandung energi. Makna juga
bukan materi. Makna adalah makna alias ‘informasi’.
Selama ini, kita
memahami eksistensi alam semesta hanya tersusun dari 4 variable, yaitu
Ruang, Waktu, Materi dan Energi. Sebenarnya, ‘Informasi’ adalah variable
ke 5 yang turut menyusun alam semesta.
Para pakar Fisika tidak
memasukkan ‘Informasi’ sebagai salah satu variable penyusun alam,
karena pengukuran ‘Informasi’ itu tidak bisa dilakukan oleh alat ukur
material seperti mengukur Ruang, Waktu, Energi dan Materi. Makna atau
informasi hanya bisa diukur oleh ‘perasaan’ makhluk hidup.
Tetapi seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi kini semakin bisa
diukur secara lebih kuantitatif bukan hanya kualitatif saja. Sehingga,
saya kira sudah waktunya kita memasukkan ‘variable Informasi’ sebagai
Salah satu dari 5 variable penyusun eksistensi alam semesta.
Nah, variabel ke 5
inilah yang banyak berperan ketika kita membicarakan makhluk hidup.
Khususnya yang berkaitan dengan Jiwa dan Ruh. Sebab, ukuran-ukuran yang
bisa kita kenakan pada aktivitas Jiwa dan Ruh itu bukan cuma sebatas
ukuran Ruang, Waktu, Energi dan Materi, melainkan ukuran ‘informasi’
alias ‘makna’. Dan itu belum terwadahi oleh 4 varaibel tersebut.
Mungkinkah ada suatu
peralatan yang bisa mengukur baik dan buruk? Atau adakah alat secanggih
apapun yang bisa mengukur tingkat keindahan, kejengkelan, kebosanan,
ketentraman, kebencian, kedamaian, dan kebahagiaan? Semua itu terkait
dengan informasi dan makna. Sebenarnyalah ‘makna’ itu memiliki arti yang
lebih mendalam dibandingkan sekedar informasi.
Meskipun, tidak bisa
diukur secara langsung sebagaimana mengukur kuantitas Ruang, Waktu,
Energi dan Materi, tapi informasi dan ‘makna’ itu bisa bermanifestasi ke
dalam Ruang, Waktu, Materi dan Energi. Informasi dan Makna menjelajah
ke seluruh dimensi tersebut.
Sebagai contoh, rasa
bahagia bisa terpancar di wajah seseorang (dalam bentuk materi dan
energi), dalam kurun waktu tertentu di suatu tempat (menempati Ruang dan
Waktu).
Informasi tersebut juga
bisa ditransfer kepada orang lain, sehingga memunculkan energi
tertentu. Jika anda sedang merasa gembira, kemudian menceritakan
kegembiraan itu kepada orang dekat anda, maka orang itu akan merasa ikut
bergembira. Dan ketika dia ikut merasa gembira, dia sebenarnya telah
menerima energi kegembiraan itu dari anda. Dia tiba-tiba terdorong untuk
tertawa, atau bahkan menangis gembira.
Dalam bentuk apakah
energi kegembiraan itu terpancar ke orang dekat anda? Apakah suara anda
yang keras dan menggetarkan gendang telinganya itu yang menyebabkan dia
tertawa? Pasti bukan. Apakah juga karena suara anda yang mengalun merdu,
sehingga ia ikut gembira. Juga bukan. Yang menyebabkan dia ikut gembira
adalah karena ‘isi’ alias ‘makna’ cerita anda itu.
Dan uniknya, energi
yang tersimpan di dalam makna itu tidak bisa diukur besarnya secara
statis, seperti mengukur waktu, atau energi panas. Energi ‘informasi’
itu besarnya bisa berubah-ubah bergantung kepada penerimanya.
Kalau si penerima
berita demikian antusias dalam menanggapi berita gembira itu, maka dia
akan menerima energi yang lebih besar lagi. Mungkin dia bisa tertawa
sambil berurai air mata gembira, berjingkrak-jingkrak, dan seterusnya.
Padahal, bagi orang lain, berita yang sama tidak menimbulkan energi
sehebat itu.
Dimana kunci kehebatan
transfer energi informasi itu berada? Terletak pada dua hal, yang
pertama adalah makna yang terkandung di dalamnya, sejak dari informasi
itu berasal. Dan yang kedua, sikap hati si penerima informasi. Keduanya
bisa saling memberikan efek perlipatan kepada energi yang dihasilkan.
Jadi kekuatan energi
informasi terletak pada ‘kualitas interaksi’ antara sumber informasi,
penerima, dan makna yang terkandung di dalamnya. Dan, semua itu
berlangsung dengan sangat dinamis. Itulah yang terjadi dalam mekanisme
pancaran gelombang otak kita, sebagai representasi Jiwa.
Memang dalam kadar
tertentu, otak memancarkan gelombang dengan frekuensi yang bisa
ditangkap dengan mengunakan alat-alat perekam elektromagnetik tertentu.
Katakanlah electric Encephalograph atau Magneto Encephalograph. Tapi
yang terukur di sana hanyalah amplitudo dan frekuensinya saja. Atau,
mungkin ditambah dengan pola gelombangnya. Sama sekali tidak bisa diukur
berapa besar energi ‘makna’ yang tersimpan di dalamnya. Misalnya,
apakah orang yang diukur gelombang otaknya itu sedang gembira atau
bersedih. Atau, lebih rumit lagi, apakah dia sedang berpikir jahat atau
berpikir baik.
Energi makna itu baru
bisa diketahui ketika dipersepsi lewat sebuah interaksi dengan orang
lain. Artinya, sampai sejauh ini alat ukur yang digunakan haruslah
makhluk hidup, yang memiliki ‘hati’ dan Jiwa sederajat dengan sumber
informasi.
Namun demikian, secara
umum, kita bisa mengetahui kondisi Jiwa seseorang lewat jenis gelombang
otak dan frekuensi yang dipancarkannya. Misalnya, kalau otak seseorang
memancarkan gelombang dengan frekuensi 13 Hertz atau lebih, dia sedang
keadaan sadar penuh alias terjaga.
Kalau pancaran
gelombang antara 8 – 13 hertz, maka dia sedang terjaga tapi dalam
suasana yang rileks alias santai. Jika otaknya memancarkan gelombang di
bawah 8 hertz, maka orang itu mulai tertidur. Dan jika memancarkan
frekuensi lebih rendah lagi, di bawah 4 Hz, ia berarti tertidur pulas.
Dan ketika bermimpi, dia kembali akan memancarkan frekuensi gelombang
yang meningkat, meskipun dia tidak terjaga.
Jadi, secara umum kita
melihat bahwa ‘aktivitas’ otak seiring dengan aktivitas Jiwa. Aktivitas
Jiwa bakal memancarkan energi Makna. Energi makna itu lantas memicu
munculnya energi elektromagnetik di sel-sel otak. Dan berikutnya, energi
elektromagnetik tersebut memunculkan jenis-jenis neurotranmister dan
hormon tertentu yang terkait dengan kualitas aktivitas Jiwa itu.
Misalnya neurotransmiter untuk kemarahan berbeda dengan gembira, berbeda
dengan sedih, malas, dan lain sebagainya seperti telah kita bahas di
depan.
AKTIVITAS KELISTRIKAN OTAK
Salah satu aktivitas
otak yang paling dominan adalah munculnya sinyal-sinyal listrik. Setiap
kali berpikir, otak bakal menghasikan sinyal-sinyal listrik. Bahkan
sedang santai pun menghasilkan sinyal-sinyal listrik. Apalagi sedang
tegang dan stress. Sinyal itu dihasilkan oleh sel-sel yang jumlahnya
sekitar 100 miliar di dalam otak kita. Jadi, sebanyak bintang-bintang di
sebuah galaksi.
Kalau kita lihat dalam
kegelapan, miliaran sel itu memang seperti bintang-bintang yang sedang
berkedip-kedip di angkasa. Setiap kali sel itu aktif, dia bakal berkedip
menghasilkan sinyal listrik. Jika ada sekelompok sel yang aktif, maka
sekelompok sel di bagian otak itu bakal menyala. Di sana dihasilkan
gelombang dengan energi tertentu. Bahkan bisa dideteksi dari luar batok
kepala dengan menggunakan alat pengukur gelombang otak, EEG atau MEG.
Darimana kedipan itu
muncul? Dari aktifnya program-program yang tersimpan di inti sel otak.
Setiap saat di otak kita muncul stimulasi-stimulasi yang menyebabkan
aktifnya bagian otak tertentu. Misalnya, kita melihat mobil. Maka,
bayangan mobil itu akan tertangkap oleh sel-sel retina mata kita, dan
kemudian diubah menjadi sinyal-sinyal listrik yang dikirim ke otak kita.
Sinyal-sinyal kiriman retina mata itu bakal mengaktifkan sejumlah sel
yang bertanggung jawab terhadap proses penglihatan tersebut.
Demikian pula ketika
kita membaui sesuatu. Aroma yang tertangkap oleh ujung-ujung saraf
penciuman kita bakal dikirim sebagai sinyal-sinyal ke otak. Dan
sinyal-sinyal itu lantas mengaktifkan sel-sel untuk membangkitkan
sinyal-sinyal berikutnya. Bahkan dalam keadaan tidur, otak kita masih
mengirimkan sinyal-sinyal untuk mengatur denyut jantung, pernafasan,
suhu tubuh, hormon-hormon pertumbuhan, dan lain sebagainya.
Otak adalah generator
sinyal-sinyal listrik yang saling terangkai menjadi kode-kode kehidupan.
Jika kode-kode itu padam, maka orangnya pun meninggal. Karena, sudah
tidak ada lagi aktivitas kelistrikan di sel otaknya. Berarti tidak ada
lagi perintah-perintah untuk mempertahankan kehidupan.
Tidak hanya berhenti di
otak, sinyal-sinyal listrik itu merambat ke mana-mana ke seluruh tubuh,
lewat komando otak. Menghasilkan gerakan-gerakan atau perintah lain
untuk kelangsungan hidup badan kita. Gerakan sinyal listrik tersebut
memiliki kecepatan sekitar 120 m per detik. Jalur yang dilaluinya adalah
‘kabel-kabel’ saraf yang menyebar dalam sistem yang sangat kompleks.
Pengukuran kelistrikan
saraf ini bisa dilakukan dengan menggunakan alat (ENG) dan menghasilkan
data kelistrikan yang disebut Elektro Neuro Gram. Sedangkan untuk
pengukuran kelistrikan otak menghasilkan data berupa Elektro
Ensefalogram (EEG).
Dalam konteks ini,
manusia lantas mirip dengan robot, yang aktivitasnya juga didasarkan
pada sinyal-sinyal listrik. Pusatnya ada di hardisk atau chip yang
memuat program-program pengendali fungsi ‘kehidupan’ robot itu.
Mekanisme kelistrikan
di dalam tubuh manusia berjalan secara otomatis mengikuti pola sistem
digital di dalam sel. Dalam keadaan istirahat, sel memiliki angka
tegangan listrik sekitar -90 mvolt.
Namun, begitu ada
rangsangan, maka ion-ion natrium yang tadinya berada di luar sel
tiba-tiba ‘menyerbu’ masuk ke dalam sel melewati membrannya. Sehingga,
suatu saat muatan di dalam sel itu jauh lebih positif dibandingkan
dengan di luar membran sel. Tegangan puncak yang terjadi, kalau diukur
dengan Galvano meter bisa mencapai +40 mvolt.
Ketika sel mencapai
nilai ambang tegangan tertentu, maka sel itu menghasilkan sinyal listrik
sebagai jawaban atas rangsang yang terjadi. Waktu pencapaian nilai
ambang tersebut sangat singkat, sekitar 1/1000 detik. Saat itulah sinyal
dihasilkan oleh sel. Di dalam sinyal itu ada kode-kode informasi yang
harus disampaikan kepada sel-sel di sebelahnya, secara berkelanjutan.
Begitu tegangan listrik
sel mencapai tegangan puncaknya, +40 mvolt, maka tegangan itu akan
menurun kembali menuju tegangan istirahatnya yaitu -90 mvolt. Begitulah
seterusnya, sinyal-sinyal terjadi di dalam sel sebagai respon atas
rangsangan yang terjadi, secara otomatis.
Mekanisme kelistrikan
itu terjadi bukan hanya di dalam sel saraf, melainkan di seluruh bagian
tubuh. Sinyal listrik adalah mekanisme utama dalam seluruh aktivitas
tubuh manusia. Dan kini, seiring dengan perkembangan teknologi, besarnya
kelistrikan itu bisa diukur dengan baik.
Sebagai contoh,
kelistrikan otot bisa diukur dan menghasilkan data yang disebut
Elektromiogram (EMG). Otot adalah jaringan penggerak yang diladeni oleh
banyak sekali unit-unit motor dari saraf otak atau tulang belakang. Ada
sekitar 25 – 2000 serat otot yang terhubung ke saraf-saraf.
Sinyal-sinyal
kelistrikan itu merambat lewat jalur tersebut. Ketika sel-sel saraf
istirahat, maka sel-sel otot juga istirahat. Ketika sel saraf
menghasilkan sinyal listrik, maka sel-sel otot juga terangsang,
menghasilkan tegangan listrik, dan kemudian memunculkan sinyal dengan
mekanisme yang sama.
Kelistrikan pada retina
mata juga bisa diukur. Metode yang dipakai adalah rangsang cahaya pada
retina, yang kemudian menghasilkan sinyal listrik di saraf-saraf sekitar
mata. Sebelum diukur, mata diberi cairan NaD fisiologis, kemudian di
korneanya dipasang lensa kontak yang berisi elektroda Ag-AgCl.
Pada sekitar mata
dipasang elektroda referensinya. Elektroda itu bisa dipasang di dahi,
atau di dekat telinga. Maka, ketika retina disinari cahaya, akan muncul
sinyal-sinyal yang bisa diukur oleh sistem peralatan tersebut. Dinamakan
Elektroretinogram (ERG).
Teknik lain untuk
pengukuran kelainan fungsi mata secara kelistrikan adalah yang disebut
Elektrookulogram (EOG). Sedangkan pada fungsi lambung dan pencemaan,
pengukurannya disebut Elektrogastrogram (EGG). Pada saraf disebut
Elektroneurogram (ENG). Pada otak disebut Elektroensefalogram (EEG). Dan
pada jantung disebut sebagai Elektrocardiogram (ECG). Pengukuran
kelistrikan pada jantung adalah yang paling maju di antara pengukuran
kelistrikan yang lain, karena relatif ‘lebih mudah’ dan ‘lebih tua’.
Tapi kita tidak akan membahasnya di sini lebih jauh.
Pada dasarnya saya
hanya ingin mengatakan bahwa tubuh manusia penuh dengan sinyal-sinyal
listrik yang membentuk mekanisme sistem kehidupan. Sekali lagi, semua
itu dikendalikan lewat program-program canggih yang terdapat di inti sel
yang berjumlah miliaran itu. Dan organ komandonya adalah otak.
Lima tahun terakhir
ini, perkembangan pengukuran dan pemanfaatan gelombang otak semakin
maju. Terutama untuk membantu orang-orang yang mengalami kelumpuhan pada
saraf tubuhnya dari leher ke bawah. Mereka sangat terbantu dengan
adanya teknologi ‘brain computer interface’ (BCI). Sebuah teknologi yang
mencoba menghubungkan otak dengan sebuah komputer.
Ke dalam otak seseorang
dimasukkan sebuah chip berukuran 2×2 mm yang berisi 100 keping
elektroda. Chip itu ditanam di lapisan luar kulit otak sedikit di atas
posisi telinga untuk menangkap sinyal-sinyal yang keluar dari sel-sel
otak.
Chip tersebut bisa
menangkap sinyal-sinyal yang berasal dari sekitar 50 – 150 saraf otak.
Lantas, diteruskan ke suatu alat pengubah data digital, dengan
menggunakan kabel fiber optik. Sinyal-sinyal digital itu dihubungkan ke
sebuah komputer. Hasilnya, seorang yang mengalami kelumpuhan saraf-saraf
otot bisa memberikan perintah yang ada di benaknya lewat komputer
tersebut.
Penelitian yang
dilakukan oleh sebuah lembaga benama Cyberkinetics di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa si pasien yang lumpuh itu bisa melakukan banyak hal
lewat bantuan alat tersebut. Di antaranya, dia bisa mengoperasikan
komputer cukup dengan kehendaknya saja.
Dia juga bisa mematikan
dan menghidupkan lampu, televisi, radio, dan memainkan video games,
serta beberapa peralatan elektronik hanya dengan menggunakan pikirannya.
Bahkan perkembangan berikutnya, ia bisa menggerakkan tangannya dengan
bantuan alat tersebut.
Manusia telah berhasil
membuktikan bahwa otak memancarkan sinyal-sinyal listrik yang memiliki
makna sesuai dengan apa yang sedang dipikirkan. Karena itu, bisa diukur.
Di dalamnya tersimpan energi tak terbatas yang bergantung kepada bisa
tidaknya kita menerjemahkan sinyal pikiran itu lewat peralatan peralatan
mutakhir..
Maka, orang bisa
bermimpi dan berimajinasi apa saja dengan pikirannya. Kalau imajinasi
itu bisa diterjermahkan tanpa batas juga, dengan menggunakan peralatan
yang semakin canggih, maka energi yang tersimpan di dalam perintah itu
pun bakal menjadi kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar